Kudus adalah sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Kudus merupakan kota kelahiran ayah. Pertama kali saya mengenal kota ini saat masih di bangku kelas III SD. Awalnya hanya diajak untuk mengunjungi nenek. Lalu terakhir saya ke sana lagi tahun 2012 sewaktu masih kuliah. Dan bulan Mei kemarin saya mendapat kesempatan untuk datang kembali ke kota kelahiran ayah saya ini đ
Sedikit saya ceritakan tentang Kota Kudus. Kudus dalam bahasa Arab artinya suci. Kota ini adalah kota penghasil rokok kretek dan juga sering disebut sebagai kota santri karena merupakan salah satu kota tempat berkembangnya agama Islam pada abad pertengahan di tanah jawa. Dibuktikan dengan adanya makam 3 sunan dari walisongo yakni Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Kedu.
Masjid Menara Kudus merupakan salah satu ikon Kota Kudus. Pemugaran terus kondisi bangunan yang memang sudah sangat tua. Wisatawan yang datang kadang hanya mampir ke masjid ini untuk wisata arsitektur karena Kota Kudus juga merupakan kota persinggahan, kadang juga ada yang sengaja datang untuk ziarah terutama pada bulan sura’dan menjelang puasa (festival dhandhangan), dan kadang ada juga yang memang datang karena pulang kampung seperti saya đ
Nama lain masjid ini adalah Masjid Al-Aqsa atau Masjid Al-Manar. Dibangun pada tahun 1549 oleh Sunan Kudus, bangunan masjid merupakan perpaduan antara budaya Hindu dan Islam sehingga menara tersebut bentuknya seperti candi. Ini adalah cara Sunan Kudus berdakwah pada masyarakat yang masih menganut kepercayaan Hindu/Budha pada masa itu. Cara beliau menerapkan agama Islam adalah dengan berusaha berdakwah agama Islam lewat kebudayaan mereka. Salah satunya adalah dengan membangun tempat ibadah yang mirip dengan tempat ibadah masyarakat Hindu ada masa itu.
Masjid ini sudah sering dipugar. Sudah diperluas dari bentuk aslinya. Direnovasi pada tahun 1918 dan terdapat banyak elemen-elemen tambahan. Bata terakota dan bentuk gapura khas candi dengan jam di atasnya menjadi ciri khas masjid ini.
Gambar di atas adalah bagian serambi masjid. Terdapat sepasang menara kembar atau biasa disebut warga sebagai “lawang kembar”. Saya sedikit kurang setuju dengan adanya tambahan kubah di bagian serambi. Sedikit mengurangi estetika asli masjid dan menutup bagian atas gapura. Mungkin maksud diberi tambahan serambi ini agar lebih teduh.
Area shalat pria dan wanita dipisah. Area pria melewati bagian kiri dan area wanita melewati kanan bangunan. Sirkulasi seperti ini cukup baik agar antara wanita dan pria tidak bercampur saat memasuki masjid. Ada beberapa elemen arsitektur yang ditumpuk dan dipaksakan dibangun. Dan ada beberapa elemen material yang juga tidak sinkron. Sayang sekali rasanya, keindahan masjid ini tidak sepenuhnya bisa dinikmati. Atau mungkin, saya yang salah mengambil view :D:D:D
Terlintas di benak saya, bagaimana masyarakat pada masa itu bisa membuat detail arsitektur sebegitu detailnya. Tiap susunan batu tertata dengan baik dan memiliki nilai seni dan estetika yang baik. Saya penasaran, apakah pada masa itu ada gambar kerja? Ini adalah karya yang luar biasa.
Tinggi bangunan 18m dengan lebar dasar 10m x 10m. Di dalam menara terdapat tangga dari kayu jati untuk naik ke atas. Dulu sewaktu ayah saya kecil, tangga itu masih bisa dinaiki, tapi sekarang sepertinya sudah tidak diperbolehkan lagi. Di sekeliling menara terdapat piring-piring kuno berwarna putih dan berwarna biru yang berlukiskan unta, pohon kurma, dan bunga-bungaan berjumlah 32 buah.
Bagian menara terdiri dari kaki, badan, dan kepala, seperti tipikal arsitektur hindu jawa. Batu bata pada bangunan menara dan sebagian masjid dahulu dibangun tanpa perekat semen melainkan dengan putih telur. Atap tajug yang berbentuk atap tumpang di bagian menara ditopang oleh 4 tiang saka guru.
Atap masjid menggunakan bentuk atap tumpang yang mengekspos usuk. Kayu-kayu penguat atap tersusun rapi berwarna coklat yang sinkron dengan warna bata terakota. Warna putih cat beton menambah kontras warna kayu yang memperkuat bentuk atap yang sangat tradisional ini. Saya suka sekali area ini. Atap yang tinggi menghasilkan sirkulasi yang baik pada ruang di bawahnya. Udara panas terangkat ke atas dan mengalir dengan baik digantikan dengan udara baru yang masuk melalui celah jendela dan pintu.
Berada di dalam area shalat wanita ini seperti berada di bawah rumah joglo. Cahaya masuk dari segala arah melewati atap dan jendela besar. Di area selasar terlihat muda-mudi duduk bercengkrama karena duduk di sini terasa dingin meskipun cuaca panas. Kanopi yang panjang dan miring ini memungkinkan air hujan jatuh dengan baik. Tempias air hujan jauh dari lantai sehingga menghindari kotor pada lantai đ
Elemen pembatas berupa gapura berwarna terakota yang tersusun sangat rapi dan simetris. Melalui gapura ini orang-orang bisa berlalu lalang dari arah samping .
Lagi-lagi saya menemukan jendela kayu berukuran besar yang berkisi-kisi seperti saat saya melakukan perjalanan ke Semarang kota kemarin. Jendela ini bertujuan memasukkan udara meskipun jendela dalam keadaan tertutup.
Gapura masuk dari arah luar berupa sepasang gapura kembar yang jika ditarik garis lurus posisinya sama dengan gapura yang ada di bawah kubah masjid. Gapura dengan detail rumit ini begitu hindunism, bergaya arsitektur hindu yang kuat.
Sebelum memasuki Bali, hindu lebih dulu berkembang di daerah Sumatera dan Jawa. Karena saat ini pulau Jawa didominasi masyarakat muslim, ciri khas hindunism tidak begitu tampak lagi di pulau Jawa. Karena masyarakat Bali masih menganut kebudayaan hindu yang kuat, maka arsitektur hindunism berkembang sangat baik di Bali sehingga seperti yang kita tau, arsitektur seperti di Kudus ini tampak mirip dengan yang ada di Bali meskipun sebenarnya arsitektur Bali berasal dari Jawa.
Selain masjid ini sebagai tempat ibadah, di dalam kawasan masjid ini juga terdapat makam orang-orang terpandang dan dihormati pada masa itu. Atap gapura makam ini seperti atap rumah joglo Kudus dengan detail atap di bagian perubung. Unik sekali. Gapura bagian ini sedikit berbeda dengan gapura lain. Gapura ini beratap dengan ornamen arsitektur khas Kudus yang biasanya ornamen-ornamen tersebut juga terdapat di atap rumah Kudus.
Area parkir diteduhi dengan pohon palem. Masih terasa panas sebenarnya. Area parkir motor tidak digabung dengan area parkir mobil. Dan saya pun tidak melihat banyak mobil berjajar di area masjid ini. Tampaknya mobil tidak boleh memasuki kawasan sekitar masjid karena pasti akan sangat mengganggu.

Atap tumpang masjid
Atap berundak ini berciri khas Hindu, sama seperti tipologi menara di depan masjid. Bangunan terdiri dari atap, badan, dan kepala. Jendela-jendela di sekeliling atap berusaha memasukkan cahaya ke dalam sehingga ruangan di dalam masjid tidak membutuhkan lampu pada siang hari.
Ini adalah detail gapura memasuki makam. Sebelum memasuki makam, orang-orang biasanya berwudhu karena akan berziarah. Tempat wudhu berada sebelum gapura ini. Untuk memasuki makam, orang-orang tidak boleh menggunakan sandal karena akan mengotori area makam. Area makam di balik gapura ini adalah area makam para sunan. Dan area makam di luar itu adalah area makam orang-orang terhormat pada masa itu. Makam dibuat seperti bangunan, Terdapat atap seperti pendopo. Di sanalah orang-orang berziarah dan duduk memanjatkan doa.
Area makam diperkeras dengan paving block dan pepohonan sangat sedikit sekali di area pemakaman. Batu-batu patok makam adalah batu-batu patok lama. Bentuk nisan makam pun juga terlihat khas kuburan jaman dulu.
Kepercayaan hindu yang menganut paham animisme dan dinamisme tampaknya masih melekat di kepala masyarakat Jawa. Masih banyak dari mereka yang percaya akan sesuatu yang gaib dan benda-benda keramat. Tidak jarang juga orang-orang yang berziarah ke sini berniat untuk memohon petunjuk sehingga tujuan ziarah yang sebenarnya disalahartikan oleh sebagian masyarakat.
Tampak menara yang berdampingan dengan masjidnya yang sudah direnovasi. Keindahan menara Kudus sedikit tertutupi oleh bambu-bambu yang menjadi skyfolding untuk kegiatan renovasi kembali.

Foto lama Menara Kudus
Saya menemukan foto lama ini dari album lama nenek. Di foto itu bertuliskan Menara Kudus tahun 1900. Tampak di sana noni-noni dan meneer-meneer Belanda dengan baju khas kolonial mereka dengan topinya berdiri di depan menara. Pemandangan yang unik sekali. Tampak di sana dulu belum ada taman seperti sekarang.

Rumah Joglo Kudus